Cerpen #144 : Zona Merah
![]() |
Ilustrator : Bup Koo, |
Namaku Kai. Aku salah satu tim peneliti
yang hendak pergi ke satu rimba di ketinggian bukit tunggul. Kantong besar berisi peralatan dan
persediaan telah disiapkan istriku jauh-jauh hari. ia tahu profesiku, dan tahu
bagaimana ia berperan.
“Yang, berapa orang rombongan yang akan berangkat?” Dengan gesit istriku menyimpan lipatan pakaian ke dalam tas besar setelah beberapa menit tadi ia memanaskan mobil. Aku hanya mengacungkan kelima jari. Dan tanpa rehat ia pergi lagi ke belakang,
mengambil cucian basah untuk dikeringkan. “aku sudah siapkan sarapan untuk kalian di dapur.
Kalau ada yang perlu lagi kasih tahu ya, setelah ini aku mau benerin genteng,
hujan semalam membuatku tidak bisa tidur, kepikiran takut kebanjiran.”
“oke!” Lagi-lagi aku hanya melempar ibu jari ke udara. Lalu meneruskan
pekerjaan menulis draft jurnal, ditemani secangkir kopi buatan istriku. Dan di hadapanku layar komputer segede jendela, tempat biasa aku
melakukan meeting online bersama para crew yang lain. Sebuah email tiba-tiba
muncul bergambarkan amplop hati yang manis. Istriku sedang sibuk, aku
membukanya perlahan dan kuperbesar link yang diberikan. Video call pun
berjalan.
“Hallo, Kai? – manis banget kamu masih pakai handukan
gitu?” – seseorang dengan avatar cewek mengawali
perbincangan. “Siang ini aku jemput ya, aku sudah kangen pengen
meluk!”
“Jangan. Nanti istriku cemburu!” Aku menambahkan lagi beberapa kontak untuk bergabung dalam perbincangan
ini. “Pakai teks aja ya! Biar Aman!” Mereka tertawa dengan
semua candaanku.
‘Sombong, mau aku bongkar rahasiamu?’ – ‘Rahasia apa sih, antara kalian berdua?’ – ‘Kayak enggak tahu aja kamu!’. –‘Aku nggak tahu rahasia mereka!’ – ‘Nanti dalam
perjalanan akan aku ceritakan!’ – ‘Siap, pak ketu!’
Pandai mereka membuat kolom chat menjadi berwarna. ‘cepat pakai pakaianmu,
kita sudah ada di depan. Noh, bini lo lagi berjemur di genteng!’ Candan mereka kelewatan. Kali ini mereka meninggalkan
percakapan dan benar-benar sudah ada di depan rumah. Aku membuka pintu, dan
benar mobil mereka sedang di parkir di depan. Aku buru-buru membawa semua
barang yang aku butuhkan dan segera pergi.
“Mana istrimu, ga kelihatan sejak tadi, Kai?”
“Tadi katanya mau ke .. tahu lah entah kemana dia!” Untung saja mereka tidak bertemu istriku,
kalau tidak pasti ketahuan kalau aku suka bermalas-malasan
di rumah.
Kendaraan kami meninggalkan pekarangan rumah dan menuju jalan besar.
Kami tidak bisa diam, selalu ada yang diperbincangkan dan selalu ada yang jadi
sasaran. Yang duduk di depan samping sopir itu Marsel, dia ketua tim. Yang menghimpit di kiri dan kananku ada Kim dan Jerry. Sementara di belakang yang sedang memeriksa makanan istriku ada Russel. Cewek satu-satunya yang
sengaja di taruh di belakang, karena pengennya nyender dan tiduran.
“Rus, kau tidak lagi puasa kan? Tuh aku bawain makanan
dari istriku, untuk kalian berlima, kau boleh ambil semua.” Aku mengedipkan mataku, aku tahu ia doyan masakan
istriku. “Hati-hati lemaknya numpuk!”
“Kamu salah, Kai! Istrimu itu pintar! Dia tahu meramu makanan enak tapi tidak sarat lemak. Aku saja kalah darinya kalau soal masak memasak, tapi kalau
soal memanaskan yang lain. Aku perlu dicoba loh!” katanya tertawa. Tapi yang lain hanya senyum. Pikiran mereka tidak
terlalu bisa dikendalikan.
“Sudahlah, Russ, jangan godain Kai
lagi. Sudah tahu dia tidak suka cewek!” Jerry menepuk bahuku. “kau menikahi istrimu,
hanya untuk status saja, kan?”
“Sialan!” aku dicela
habis-habisan. Semua orang tertawa. Termasuk supir yang tidak aku kenal. Ia
berlagak percaya dengan apa yang mereka utarakan. “Mereka bercanda mas, jangan didengarkan!” – “Lu cari tema candaan lain, kek. Merusak citra itu mah!” Mereka malah makin tertawa dan aku hanya menunduk malu.
“Lagian, nih Kai. Lu jangan balas candaan si Jerry, sudah tahu omongannya jarang
pake saringan.!” Ketua akhirnya membelaku, mungkin ia melihat kekakuan dari
tingkahku. “Bungkam mulutnya, Kim!’
“Siap, Pak Ketu!” Kim dengan senang hati
melakukannya, Jerry mengap-mengap kehabisan nafas gara-gara Kim membungkam
dengan sudut ketiaknya.
“Tolong!” – Jerry sempat
mengambil nafas hanya untuk mengucapkan itu. “Asem! Aku nyerah!- aku nyerah!” Kami semua tertawa melihat wajahnya yang semu merah
karena menahan nafas menghindari bau asem keringat Kim. Mereka berdua seperti
anak kecil.
“Berhenti disini!’ Marcel menyuruh supir untuk turun dan
memeriksa jalan. “Kim, bantu aku!” Marcel dan Supir keluar dari
mobil dan Kim dengan ringan tangan membantu mereka. “Siap pak ketu!”
“Ada apa sih?” Jerry melongok dari
jendela. Sekalian menghirup udara segar. Sementara aku sedang sibuk melap kamera, dan Russel terbangun
dari tidur ayamnya. “Kim, ada apa - aku ikut keluar ya?” – dari jauh terlihat Marcel, Supir dan Kim yang berotot besar sedang
ngobrol dengan polisi kawasan setempat. Aku mencuri dengar apa yang mereka
perdebatkan.
“Maaf Pak, dengan segala
kebijakan. Kami tidak memberi izin rombongan bapak untuk melintas perbatasan.
Sekali lagi maaf, kami harus mematuhi peraturan. Mohon putar balik dan urungkan
niat untuk melintas.” Polisi itu melepaskan
tangannya ke udara. “Mari saya antar bapak ke
mobil.” - Jika tidak ketua mencegah, mungkin Kim dengan sigap
meremukan tangan polisi yang seenaknya mendorong ketua dari perbatasan. “Silahkan pak. Ini sudah peraturan!”
Mereka kembali ke mobil. Kim masih membentur-benturkan kepalan tangannya.
Marcel berpikir keras sementara kami tidak tahu apa yang terjadi di depan.
“Kita dilarang masuk perbatasan!” – Ketua menenangkan emosi kami. “Tapi kita akan cari
jalan keluar.” Ia membuka peta di google dan mencari jalur
alternatif lain. Russel mengambil tas punggungnya. Aku menoleh padanya. “ada apa?”
“Sepertinya petualangan menunggu kita, kawan-kawan!”- kami melihat ide berseru di kepalanya. Mungkin benar
kita akan menghabiskan waktu lebih lama dengan mencari jalur sukar, tapi bukan
tidak mungkin kami menemukan hal baru di dalam sana. “Bagaimana kita menebas jalur baru?” –
Marcel meminta bantuan supir, tapi dia hanya tahu jalan biasa. Peta di google
pun, hanya sampai jalan buntu. “Kita putar arah mang, kita ke jalan kampung!”
“tapi pak? Mobilnya.”
“Kamu tidak perlu ikut, aku bayar kamu untuk jaga mobil.
Kami akan jalan kaki!” Marcel memberi upah di
awal, di luar dari kesepakatan semula. Aku tidak mau ambil bicara, segera ku
ambil tas besar dan berjalan bersama. Langkah demi langkah tidak terasa
jauhnya, menelusuri jalan kecil hingga buntunya, melangkahi area pemakaman
sampai hanya terlihat batu-batunya saja, melintasi sungai sampai
lubuk-lubuknya.
“Kita ini peneliti atau pengembara sih?’ Jerry baru
bertanya setelah kami jauh menghabiskan persediaan makanan dan minuman. Ia
menggoyang-goyangkan wadah minum, sampai keringnya. Padahal jalur ini lurus,
tapi tidak juga kami bertemu siapapun untuk bertanya. Marcel melihat keresehan
dan keraguan kami.
“Russel, giliranmu yang memimpin!” Marcel mempercayakan
insting kewanitaannya untuk menuntun kami kepada objek penelitian kami.
Tumbuhan langka, penangkal virus dan semacamnya. Russel adalah salah satu
anggota penelitian yang lebih tangguh daripada
pria-pria berlemak ini. Ia terbiasa menuruni bukit dan lembah, menjemput maut
di pedalaman dan menghalau serangan binatang. Golok tersemat di tangannya. Ia
menebas ilalang dan tumbuhan liar sekali ayun, kami membuka jalan yang belum
dibuka orang lain.
Sampai kami ke sebuah cubluk, dekat air terjun. Kami melihat tumbuhan menjalar
yang lebat, batangnya tidak berkambium dan berwarna ungu. Aku melihat keindahan
luar biasa darinya. Segera aku berlari mencari ujung dari tumbuhan ini. Tumbuhan ini tumbuh di dasar jurang. Sangat kesulitan
untuk mencapainya sampai ke dasar. Tapi aku butuh sel induknya. Aku harus mengambil
sedikit specimen ini. Aku potong sedikit dan aku masukan ke dalam wadah steril, untuk nanti diteliti di kampus. Marcel
dan yang lainnya terus berjalan ke tempat yang lebih dalam, melompati batu-batu
besar dan mendaki tebing di balik air terjun. Mereka sangat cekatan sekali.
Tapi tiba-tiba aku merasa berat, lemas. Aku mencoba mengikuti mereka tapi
nampak mereka makin menjauh, aku tidak kuat melompat. Maka aku putuskan untuk
naik dengan perantara tumbuhan menjalar ini. Aku potong lagi dan aku jadikan
tali pengikat. Udara cukup sunyi. Aku tertinggal dengan kepala yang sangat
berat.
-
“Kai? Kamu tidak apa-apa?” suara perempuan membangunkanku. Entah bagaimna ia
sampai di tempat ini.
“Lila? Kamu menjemputku?” – aku melihat tangan istriku lihai membelit kakiku dengan pokok dari tumbuhan itu, ia
tumbuk untuk menjadi serbuk di luka yang menganga di betisku. Aku lupa kapan
aku mendapatkan luka sebesar ini. Apakah aku terjatuh dari ketinggian? – wanita
yang selalu mensupport diriku, seorang dokter yang rela berhenti bekerja karena
ingin melayani suaminya. “kita pulang ya!” –
Aku mengikutinya pulang, aku berjalan dengan ringan dan dengan mudahnya sampai
pekarangan rumah. Aku masuk lewat pintu belakang, yang langsung ke ruang
penelitianku. Aku masukan spesimen tumbuhan itu ke dalam toples. Aku menarik
kursi dan mulai mengiris tipis untuk aku ekstraksi. Saking fokusnya, aku
mendengar seseorang sedang berbicara dengan istriku. Seorang laki-laki yang
hanya terlihat punggungnya saja, kekar dan mulai melepas pakaian. Seperti
kebiasaanku di rumah ia kini hanya berbalut handuk dan duduk di dekat komputer
yang segede jendela.
“Yang, genteng kita bocor, aku tidak bisa tidur semalam!” suara istriku terdengar manja.
“Oke sayang, aku ambil tangga dulu ya, langsung di
benerin sekarang!” Laki-laki itu memanggul tangga menuju luar rumah,
setelah ia selesai memanaskan mobil dan menjemur pakaian. Siapa lelaki itu,
kenapa ia lebih pantas jadi suami dari istriku daripada aku? – aku masih
mengenda-endap memperhatikan mereka yang sedang tertawa saling bercanda satu
sama lain.
“Yang?” terdengar suara di
belakang, aku melihat istriku sedang duduk sambil memeras basah sapu tangan
berlumuran darah. “Aku bersihkan lukamu, ya!
– setelah itu kamu istirahat saja, biar aku yang merapikan rumput di belakang yang sudah tumbuh tinggi!” istriku yang seperti biasanya menyiapkan kebutuhanku
itu tersenyum, wajahnya pucat kecapean.
“Siapa kamu? Kamu istriku?” aku balik bingung. Aku berbalik ragu, aku benar-benar tidak ingat seperti
apa dia dalam hidupku? “Kenapa kamu melakukan
semua itu padaku, kenapa kamu menyiapkan semua itu untukku?”
“yang, kamu kenapa?” – istriku seolah kaget aku bertingkah tidak biasanya. Darah keluar dari
hidungku. Dadaku semakin sempi, aku berlari ke luar seperti kesetanan mencari
udara segar. “yang kamu kenapa?” – istriku mulai panik melihatku menggelepar di pekarangan, diantara rumput
hijau tinggi dan tanaman ungu yang menjalar.
“Dokter tolong!” istriku tidak berani menyentuhku, ia menyerahkanku pada perawat yang
segera datang membawa kasur tandu dan membaringkanku. Aku berontak, tapi mereka
sigap mengikatku agar tidak berontak. Wajah bermasker dan pakaian tebal seluruh
badan, menggotong ku meninggalkan pekarangan. Aku mendengar semua orang
membicarakanku sekarang.
Mobil ambulance datang ke pekarangan, semua tetangga datang ingin tahu kabar.
Empat pria yang menggotong dengan tandu membenamkan tubuhku ke belakang mobil.
‘Tenang pak, kami hanya menduga saja. Nanti kita periksa lebih lanjut di lab.
Suster Russel, tolong ambilkan alat bantu pernafasan!” seseorang memanggil nama yang pernah ku dengar. Wanita itu membuka
maskernya dan terlihat seseorang yang ku kenal. “Russel?” – dan satu persatu mereka terlihat sekarang. – “Kim? Jerry, Marcel? Kalian selamat?” – aku ingin memeluk mereka.
“maaf pak jangan kontak fisik dulu, berbaring saja.” – Marcel pandai betul main sandiwara, logat bicaranya
seperti dokter betulan.
“tenang, pak. Bapak sedang dalam masa halusinasi.
Tenang, jangan banyak bicara dulu!” Jerry meletakkan alat
bantu pernapasan di wajahku.
“Jer? Ini aku!” – aku menendang pintu
ambulance. “Kim, kau kenal aku kan?” aku mendongak ke atas, wajah Kim sedang menatapku, ia memegang erat
pundakku.
“Tenang pak, tenang. Bapak istirahat saja, kami hanya mengenal istri bapak!” – Kim melihatku menatap
kartu identitas yang dikalungkan. Cepat-cepat ia sembunyikan. Ia menggeleng, ia
mengira aku tahu nama mereka dari kalung identitas yang mereka kenakan. Apa
yang sedang mereka mainkan? Aku tidak sedang berhalusinasi!
--
“Pasien ini dalam pengawasan kita sekarang! cepat melapor ke pusat. Entri datanya!’ – ‘Siap pak ketu!’
--
Kabupaten Ciamis, 28
April 2020
Author : Agus Sutisna
Ilustrator : Bup Koo
Cerpen Zona Merah ini
terinspirasi dari Tanaman Bidara atau Binahong dan PSBB (Pembatasan Sosial
Skala Besar)
MasyaAllah rajin sekali bikin cerpen kak, jadi rindu menulis fiksi lagi hahaha
ReplyDeleteaku udah tumpul nih.
Jadi ngikik pas bagian disuruh puter balik. Mirip sama apa yang lagi rame saat ini seputar PSBB hehehe
ReplyDelete